Rabu, 22 Juni 2011

Sastra Jendra Hayuningrat

Sastra Jendra Hayuningrat [Ulasan] Jun 13, '11 11:00 AM
for Yoga's network

Rahayu , mugi kinalesna ing rubeda.


Makna kalimat "Sastra Jendra Hayuningrat".

Secara etimologi , "Sastra Jendra Hayuningrat" berasal dari kata-kata :
Sastra : ajaran , pengetahuan , tulisan.
Jendra berasal dari kata harja + Indra (têmbung sandhi atau têmbung garban).
Harja : raharja , rahayu , selamat.
Indra : penguasa -Kaindran , Indraloka- , Bathara Indra.
Hayu : ayu , rahayu , selaras , selamat , indah.
Ning : nya (akhiran) ; di (awalan).
Rat : alam semesta , bumi.

Arti secara luas dari "Sastra Jendra Hayuningrat" adalah ,
ajaran tentang keselamatan penguasa demi tercapainya keselamatan alam semesta.

Yg dimaksud dengan penguasa di sini bukan hanya raja , pemimpin negara ,
ataupun pemimpin lain dalam ruang lingkup besar maupun kecil ,
yg mempunyai kekuasaan atas manusia lain beserta kekayaan alam ,
namun terlebih dari semua itu (yg 'hanya' bersifat "kedudukan") , adalah diri sendiri !
Seseorang haruslah mampu menaklukkan dan menguasai dirinya sendiri ,
sebelum mencoba menjadi pemimpin bagi orang-orang lain.
Dalam konteks filosofi kejawen (kawruh kebathinan) yg musti ditaklukkan dan dikuasai ,
adalah hawa nafsu angkara murka yg berada dalam diri sendiri.

Dalam bahasa Kawi , kata 'indra' bermakna : ratu (raja) ; gunung ; Bathara Indra.
Yg dimaksud dalam "Sastra Jendra" sebagai 'indra' adalah ,
sesuatu yg tinggi , memiliki kekuasaan , bukanlah indra dalam kalimat "panca indra".
Sebab "panca indra" dalam bahasa Jawa akan ditulis sebagai 'panca indriya'.

Jadi "Sastra Jendra Hayuningrat" dapat juga diartikan sebagai ,
ajaran tertinggi untuk keselamatan (keselarasan) dunia (jagad , alam semesta).

Tentang kata 'Indra' yg mengacu pada Bathara Indra yg menguasai Indraloka ,
Layang Wedhapurwaka menyebutkan bahwa dalam struktur anatomi tubuh manusia ,
ada 'tempat' berdiamnya Bathara Guru , Bathara Indra , Bathara Bayu ,
Bathara Kala , dan 6 putra Bathara Guru yg lain , di 'tempat' yg berbeda-beda.
Hal ini musti dipahami dengan menggunakan penalaran kawruh Kajawen , bahwa ,
yg dimaksudkan adalah "sifat" dan "daya"nya , bukan "nama" dan "wujud"nya.


"Sastra Jendra" adalah mikrokosmos (Jagad Alit) ,
sedangkan "Hayuningrat" adalah makrokosmos (Jagad Ageng).

"Sastra Jendra" dan "Hayuningrat" sama-sama bersandingkan kata 'harja' dan 'hayu' ,
yg maknanya sama , yaitu : rahayu , selamat , indah , selaras ,
ini menunjukkan secara samar (atau jelas ?) konsep pemikiran bahwa
"Seseorang haruslah mampu menyelamatkan dirinya sendiri ,
barulah ia mampu memberi keselamatan (kesejahteraan) bagi orang-orang lain."
( "Memayu hayuning bawana" )

Makna kata 'selamat' adalah mampu menjalani hidup dan kehidupan dengan baik dan benar ,
sesuai dengan apa yg diajarkan oleh keyakinan , agama.
Makna kata 'selamat' kedua adalah kedamaiaan antara sesama manusia ,
terciptanya keselarasan (harmonisasi) antara manusia dengan alam dan mahkluk hidup lain.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


"Sastra Jendra Hayuningrat" mulai diperkenalkan.

Ungkapan "Sastra Jendra Hayuningrat" mulai diperkenalkan dalam serat "Arjuna Sasrabahu" ,
karya R. Ng. Sindusastra , pujangga di jaman Paku Buwana VII , pada tahun 1830 Masehi.

Ada beberapa ungkapan tentang "Sastra Jendra Hayuningrat" dalam serat "Arjuna Sasrabahu".
Karena serat itu ditulis dalam bentuk tembang ,
maka adalah hal yg wajar (dalam kasusastran Jawa) ,
bila kemudian terjadi mulur-mingsed (memanjang dan mengkerut) pada kata dan kalimat ,
atau perubahan ukara (kata) untuk menyesuaikan guru lagu pada masing-masing gatra (baris) ,
yg sebenarnya tetap memiliki makna yg tak berbeda (sama 'rasa'nya).

Diantaranya adalah :
- Sastra Harjendra Hayuning Bumi.
(Ajaran keselamatan penguasa untuk keselamatan bumi).
- Sastra Harjendra Hayuningrat Pangruwating Barang Sakalir.
(Ajaran keselamatan penguasa untuk keselamatan bumi dan memulihkan semuanya).
- Sastra Harjendra.
(Ajaran keselamatan penguasa).
- Sastra Harjendra Yuningrat Pangruwating Diyu.
(Ajaran keselamatan penguasa untuk keselamatan bumi dan memulihkan angkara).
Diyu , ditya , raseksa , buta , semua adalah perlambang dari hawa nafsu , angkara murka.
- Sastra Harjendra Wadiningrat.
(Ajaran keselamatan penguasa rahasia alam semesta).
- Sastrayu atau Sastradi.
(Ajaran keselamatan atau ajaran luhur).
- Sastra ugering agesang kasampurnaning titah , titining pati patitising kamuksan.
(Ajaran pedoman hidup sebagai manusia yg sempurna , hingga mencapai ajal ,
kembali ke alam kelanggengan dengan tepat -tidak kesasar-).
- Jatining Sastra.
(Ajaran yg sebenarnya).

Dalam serat "Arjuna Sasrabahu" tidak ada uraian secara jelas tentang "Sastra Jendra" ,
baik mengenai materi (bentuk dan isi) maupun laku-nya (cara melaksanakannya).
Malah mungkin saja dalam suatu pagelaran wayang kulit ,
Ki dhalang bisa memberikan uraian yg lebih memadai (sekalipun hanya sebatas 'kulit').
Dan bagi orang yg memiliki bakat (kepekaan) , dasar-dasar pengetahuan Jawa (kawruh Kejawen) ,
dan semiotik Jawa (kemampuan membaca tanda dan tanggap sasmita) ,
akan mampu menangkap makna dan tujuan dari ajaran "Sastra Jendra" tersebut.

Namun bukan berarti bahwa di kalangan masyarakat Jawa (para winasis ing babagan kawruh) ,
tidak ada yg mengetahui tentang bentuk , isi , dan laku dari ajaran "Sastra Jendra".
Juga bukan berarti "Sastra Jendra" baru ada pada masa sang pujangga Sindusastra.

Bisa ditafsirkan bahwa sebenarnya pada masa itu ,
"Sastra Jendra" adalah ajaran (kawruh) yg sudah lama diketahui oleh kalangan tertentu ,
(dalam bentuk , materi dan isi yg serupa namun dengan nama yg berbeda) ,
namun oleh karena berbagai hal , situasi , kondisi , lingkungan , sosial , budaya ,
"Sastra Jendra" belumlah saatnya untuk dibabarkan kepada masyarakat yg lebih luas ,
sekalipun masih pada lingkup kesamaan pandangan dan spritual.


Catatan :
Semiotik berasal dari kata Yunani 'semeion' yang berarti 'tanda' (bahasa Inggris : sign).
Semiotik didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan tanda dan simbol ,
sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi.
Semiotik meliputi bentuk visual dan verbal serta semua tanda atau sinyal ,
yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Kutipan tentang "Sastra Jendra Hayuningrat".

Di bawah ini adalah kutipan dari serat "Arjuna Sasrabahu" ,
tentang "Sastra Jendra" dalam bentuk tembang Sinom ,
yg secara garis besar ada dalam "Sastra Jendra Hayuningrat" ,
di bagian dialog antara Prabu Sumali dan Resi Wisrawa.

Sastrarjéndra hayuningrat ,
Pangruwat barang sakalir ,
Kapungkur sagung rarasan ,
Ing kawruh tan wontên malih ,
Wus kawêngku sastradi ,
Pungkas-pungkasaning kawruh,
Ditya diyu raksasa ,
Myang sato sining wanadri ,
Lamun wêruh artiné kang sastrarjéndra.

Rinuwat dèning bathara ,
Sampurna patiniréki ,
Atmane wor lan manusa ,
Manusa kang wus linuwih ,
Yèn manusa udani ,
Wor lan dèwa panitipun ,
Jawata kang minulya ,
Mangkana prabu Sumali ,
Duk miyarsa tyasira andhandhang sastra.


Terjemahannya :

Ajaran tertinggi tentang keselamatan alam semesta ,
Untuk memulihkan (meruwat) segala hal ,
Dahulu semua orang membicarakan ,
Pada ilmu ini tiada lagi ,
Telah terangkum dalam ajaran luhur ,
Kesimpulan dari pengetahuan ini ,
-bahwa- Segala jenis raksasa ,
Dan semua binatang di hutan ,
Jika mengetahui arti Sastra Jendra.

Akan dipulihkan (diruwat) oleh dewa ,
Kematiannya akan sempurna ,
Jiwanya berkumpul dengan manusia ,
Manusia yg utama ,
Jika manusia yg mengetahuinya ,
Ketika mati -jiwanya- berkumpul dengan para dewa ,
-menjadi- Dewa yang dimuliakan ,
Demikianlah Prabu Sumali ,
Ketika mendengar hatinya ingin sekali mengetahui ajaran -Sastra Jendra-.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


"Sastra Jendra Hayuningrat" Kawedhar.

Ki dhalang lalu melanjutkan ceritanya.

Setelah Resi Wisrawa dan Prabu Sumali berada di dalam sanggar pamujan
(ruang untuk memuja Hyang Maha Kuasa) dan duduk bersila berhadap-hadapan.
Resi Wisrawa menaburkan dupa ke anglo emas berisi arang yg menyala sambil membaca doa.
Prabu Wisrawa memejamkan mata untuk memusatkan pikir dan rasa.

Beberapa saat kemudian , Resi Wisrawapun mulai membabarkan "Sastra Jendra Hayuningrat"

Sastra Jendra Hayuningrat adalah sebuah kawruh kunci ,
untuk seseorang dapat memahami isi pusat tubuh (Indraloka) manusia ,
yg berada di dalam rongga dada , yaitu pintu gerbang dari rasa jati.
Dalam hal ini adalah Nur Cahaya Illahi yg ditiupkan ke dalam diri manusia dan bersifat gaib.

Sastra Jendra Hayuningrat adalah Pangruwating Diyu.
Dimulai dari mengenal watak diri pribadi (hawa nafsu) dan selanjutnya ,
dengan sungguh-sungguh dan jujur mengendalikan dan melenyapkan yg bersifat jahat ,
memupuk dan mengembangkan yg bersifat baik semaksimal mungkin ,
dengan tuntunan Hyang Bersifat Luhur dalam diri pribadi.

Sastra Jendra disebut Sastra Cetha (cetha = jelas , nyata).
Kawruh (pengetahuan) yg nyata tentang kebenaran , keluhuran , keagungan ,
akan kesempurnaan terhadap hal-hal yg bagi manusia belum nyata (meragukan).
Karena itu Sastra Jendra disebut pula sebagai Sastra Jendra Wadiningrat ,
pengetahuan (ilmu) tentang rahasia seluruh alam semesta beserta perkembangannya.

Sastra Jendra adalah ugering agesang kasampurnaning titah ,
pedoman untuk menjalani hidup mencapai kesempurnaan seorang manusia.
(Manusia ketika 'awal' 'diwujudkan' oleh Sang Maha Pencipta ?)

Untuk mencapai tingkatan hidup seperti itu tidak cukup hanya dengan menjalani persyaratan :
Sirik : Tidak melakukan , memakan , meminum , menikmati , hal-hal keduniawian
yg bersifat kesenangan , kenikmatan.
Mutih : Makan nasi putih tawar tanpa lauk apapun dan hanya minum air putih.
Puasa : Tidak makan dan minum apapun (dalam rentang waktu tertentu).
Ngebleng : berpuasa dan juga tidak tidur sehari semalam.
Patigeni : ngebleng dalam ruangan yg tanpa penerangan apapun.

Namun selain mengurangi makan , minum , tidur dan kesenangan duniawi lain (prihatin) ,
adalah melakukan samadi (Semedi , tafakur , meditasi , sembahyang)
memusatkan pikir dan rasa untuk mendekatkan diri pada Sang Maha Pencipta Alam Semesta.
Galibnya seseorang yg bersemedi akan mendapatkan ilham atau wisik (tinarbuka).
(Sembahyang berasal dari penggabungan 2 kata , yaitu Sembah dan Hyang).


Laku-laku tersebut di atas disebut bertapa (menjauhkan diri dari keduniawian).
Ada 7 tahapan yg harus dilakukan untuk dapat mencapai tataran hidup yg sempurna , yaitu :

Tapaning raga.
Mengendalikan , mengurangi segala kegiatan atau daya gerak tubuh.

Tapaning budi.
Menghindarkan dari perbuatan-perbuatan hina , tidak benar dan tidak jujur.

Tapaning hawa napsu.
Mengendalikan , menjauhkan dari perbuatan yg dikarenakan oleh hawa nafsu ,
atau angkara murka yg bersumber dari diri pribadi.

Tapaning suksma.
Menenangkan jiwa dengan banyak melakukan perbuatan baik dan berderma ,
dengan dasar keikhlasan hati dan tak berharap balasan atau karena pamrih apapun.

Tapaning cahya.
Hendaknya selalu awas dan waspada , jangan sampai lupa diri oleh keadaan cemerlang ,
yg dapat mengakibatkan pandangan (bathin) yg samar dan ragu.

Tapaning gesang (urip).
Artinya selalu berusaha , berjuang sekuat daya dengan tetap wiwéka (waspada , berhati-hati)
ke arah kesempurnaan hidup dengan penuh taat Kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Karena semua pengetahuan tentang cara atau laku untuk mencapai tingkat hidup tertinggi ,
maka "Sastra Jendra Hayuningrat" disebut pula sebagai "winihing Jagad"
(Benih seluruh alam semesta).
Itulah sebab dirahasiakan , tidak dibabarkan kepada semua (sembarang) orang ,
sebab benih yg ditaburkan pada tempat yg gersang dan kering hanyalah berbuah kesia-siaan.

"Sastra Jendra Hayuningrat , Pangruwating Diyu , Pangleburing Dur Angkara" ,
hanyalah sebagai kunci untuk dapat memahami Rasa Jati , Sejatining Rasa ,
sedangkan untuk mencapai sesuatu yg luhur , mutlak diperlukan perbuatan yg sesuai.
Rasa Jati adalah perlambang jiwa (suksma) atau badan halus setiap manusia.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Penutup "Sastra Jendra Hayuningrat".

Ngèlmu iku kalakone kanthi laku ,
Lêkasé lawan kas ,
Têgêsé kas nyantosani ,
Sêtya budya pangêkêsé dur angkara.

Terjemahannya :

Ilmu itu dapat terwujud bila dilaksanakan (dilakukan , dijalankan) ,
Dimulai dengan kemauan yg sungguh-sungguh ,
Artinya kesungguhan dapat memberikan kesantosaan (keteguhan , kekokohan) ,
Setia kepada budi - yg bersifat luhur- adalah penghancur angkara murka.


Tembang Pocung petikan dari "Serat Wedhatama" ,
(yg masih dipertanyakan tentang pengarang yg sesungguhnya ,
R. Ng. Ronggowarsito ataukah KGPAA. Mangkunegara IV) ,
kiranya dapat memberi gambaran ,
seberapa tinggi sebuah ilmu , seberapa luhur sebuah kawruh , semua tidaklah berarti apa-apa ,
bila tidak diikuti dengan tindakan perbuatan nyata (laku) yg sesuai.

Mencoba menyimpulkan bahwa "Sastra Jendra Hayuningrat" sebenarnya adalah pengetahuan
tentang asal (sangkan) manusia dan ajaran untuk menjalani hidup dengan baik ,
berlandaskan kebenaran -yg mutlak- ,
serta selalu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa ,
agar bila kelak meninggal kembali ke asalnya (paran) ,
(dalam konteks keagamaan , yg lebih mudah dipahami : "masuk surga") ,
seakan mengatakan bahwa tinggi penjabaran daripada makna , luhur penggambaran daripada isi.

Namun , terlepas dari penilaian terhadapnya , sebuah pengetahuan yg nyata
(tentang ajaran kebaikan dan kebenaran) , bila diterima dengan ikhlas ,
diyakini dengan sunguh-sungguh dan dilaksanakan dengan tekun dan sabar ,
pada waktunya akan menunjukkan ,
bahwa kuasa Tuhan Yang Maha Esa berada dalam lingkup yg tak terbatas oleh apapun.


Tetap saja , pikiran dan perasaan manusia (penulis) yg rapuh ,
tak mungkin bisa mengerti dan memahami sedikitpun keagungan Sang Pencipta.
Itu hanyalah bagai memindahkan air samudra ke sebuah lubang di pantai ,
menggunakan batok bolu (tempurung kelapa berlubang tiga).


Ngèlmu iku kalakone kanthi laku , sinartan têmên lan tumêmên.



Tulisan terkait : Sastra Jendra Hayuningrat

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Daftar Pustaka (sumber-sumber) :
- Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo.
- Sarasilah Wayang Purwa - S. Padmosoekotjo.
- Wayangprabu.com
- Menyingkap Serat Wedotomo - Anjar Any.
- Pagelaran wayang yg pernah dilihat dan didengar.
- Lain-lain.

Rabu, 11 Mei 2011

thole

thole

ignasius abimanyu kang sinebut,
jabang bayi kang linahir 2 Maret 2010,
mecah swasana kang tintrim,
lan dumadakan bungah surak gambira,
awit lahire jabang bayi kang den anti,
matur nuwun Gusti,
awit nugraha kamirahan Dalem,
mugi dadosa lare ingkang migunani ing tembe,
tumrap negari lan sesama.


bodeh, 11 Mei 2011

Minggu, 08 Mei 2011

biyung


Biyung

Kamis, 30 Desember 2010
RIP
puput yuswo
(RIP)

biyung ....
wus ginaris ing pepesthen
jatining ngaurip iku ana ing lahir lan pati
kapan kelakone ora ana sing ngerti
amung titahe manungso
kudu sumadyo
sawanci ditimbali
dening Sang Hyang Akaryo Gesang Jati

biyung ...
wus sawetoro suwe lawase
biyung sabar antre
daya-daya enggal sumare
amung kasunyatan ...
karepe janmo manungso
bedo karso Dalem Hyang Romo

biyung ....
saiki wus titi wanci
nampi kersaning Ilahi
kepareng marak sowan
ing Ngarso Dalem Gusti

biyung ....
atur panuwun tanpo upami
pisungsung putro putri
sungkem pangabekti
prajanji trusing ati

biyung ....
ing tengah ratri
kairing kidung pepudyan suci
kedaling lathi
nyenyuwun mring Hyang Widi
biyung kepareng mulyo ing swargo Ri

(Minggu Pon, 26 Desember 2010 : 07.15
nuju Pengetan Brayat Minulyo)


Diposkan oleh krismadhes di 06:40

Rabu, 27 April 2011

Semar

TOKOH WAYANG
Sumber : Wikipidea Indonesia)


PUNAKAWAN


Punakawan adalah para pembantu dan pengasuh setia Pandawa. Dalam wayang kulit, punakawan ini paling sering muncul dalam goro-goro, yaitu babak pertujukan yang seringkali berisi lelucon maupun wejangan.
Versi Jawa Tengah dan Jawa Timur, wayang kulit / wayang orang sbb :
Semar, Gareng, Petruk, Bagong.


SEMAR



Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.

Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.

Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.

Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.

Pasangan Panakawan / Semar

Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.

Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.


Bentuk Fisik

Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.

Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.

Keistimewaan Semar

Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.

Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.

Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.

Minggu, 10 April 2011

Basa Jawa iku luwes

Basa Jawa iku luwes


Basa iku sipate luwes, ngetutake obah osike masarakat sing nggunakake.


Kabeh basa ing donya bakale ngalami owah gingsir, ana upaya nglestarekake lan basa ngendi wae sewayah-wayah bakal ngalami owah-owahan.

Manawa digatekake basa jamane generasi saiki duweni sawetara bab kang beda lawan basa jaman generasi sadurunge. Beda bedane basa iku mbuktekake wus ana owah-owahan basa jroning masarakat. Nanging owah-owahan basa iku ora sakkal utawa dumadi kanthi wektu ringkes. Owah-owahan basa iku dumadi kanthi lumakuning wektu sethithik mbaka sethithik lan biyasane ora pati ketara.

Miturut Widada Hadisaputra saka Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, nganti saiki basa Jawa isih nduweni kagunan lan kalungguhan kang wigati jroning masarakat Jawa. Bab iku bisa katiti saka carane nggunakake basa Jawa kang ora amung minangka sarana omongan jroning pasrawungan kang ora resmi. Nanging uga kanggo sarana omongan resmi jroning masarakat Jawa, upamane minangka purwakaning basa jroning medhia massa, ing sekolahan tingkat SD lan uga dianggo jroning upacara-upacara adat. Saliyane iku basa Jawa uga bisa kanggo wahana ngleluri kabudayan Jawa, kaya jroning nguri-uri kasenian Jawa.

“Nyawang kasunyatan iku, basa Jawa kanthi nyata digunakake minangka purwakaning basa jroning maneka kegiyatan urip bebrayan Jawa, kayata kegiyatan dagang, sekolah, seni sastra lan uga kegiyatan sing asipat keagamaan, kayata kotbah, donga, kegiyatan pengajian lan sapiturute. Mula jroning basa Jawa uga ngandhut maneka warna lan jinis basa kang trep marang bahan pirembugane. Saliyane kuwi dhaerah sebaran basa Jawa kang banget jembare lan akehe panutur njalari basa Jawa duweni maneka warna lan jinis basa. Akibate jroning basa Jawa ditepungi maneka variasi basa kaya dialek, macem-macem basa, undha usuk lan sapanunggalane,” ujarnya, nalika medhar andharan ing UNS, sawetara wektu kapungkur.

Basa baku

Conto dialek kang ana sajrone basa Jawa yaiku dialek geografi lan dialek sosial. Dialek geografi upamane basa Jawa dialek Banyumas, dialek Jogja, Solo, Tegal lan liya-liyane. Dene macem-macem basa kang kakandhut jroning basa Jawa antarane basa kanggo omongan santai, basa resmi, basa sastra lan liya-liyane. Anane macem-macem basa iku disebabake anane kagunaan basa kang beda-beda dening masarakat Jawa. Upamane ing basa resmi, basa Jawa kang digunakake minangka basa baku jroning sawetara kegiyatan ing masarakat Jawa kang asipat resmi. Contone nalika ing pengajian, upacara ningkahan, musawarah desa lan sapiturute. Basa Jawa uga dadi basa jroning pasrawungan padinan, jagad pamulangan, medhia massa, lan luwih-luwih jroning jagad pagelaran tradhisional, kayata wayang, ludruk, kethoprak lan sajinise.

“Emane pamarentah malah nguwajibake jagad pamulangan ing Indonesia supaya nggunakake basa Indonesia minangka basa baku. Bab iku bisa nuwuhake akibat kang kurang becik marang kalungguhane basa dhaerah. Kawicaksanan pamarentah kang amung ngolehake basa Indonesia kanggo srana ngajar ing kelas, miturut psikologis wus mbentuk pamikirane para siswa manawa basa lan budaya kang kakandhut jroning basa ibu iku ora pati penting. Kepara ngilangi rasa bombonging ati marang basa ibune dhewe,” tandhese. -

Oleh : Damar Sri Prakoso

Edisi : Kamis, 07 April 2011

Rabu, 24 November 2010

BUDAYA JAWA SARINGAN GLOBALISASI

Budaya Jawa,saringan pangaruh globalisasi

Jaman saiki akeh banget wong kang wani nerak agama, nerak wewaler lan ngadohi Pangeran.

Saliyane iku, padha mikir awake dhewe, nutup mripat lan kuping karo karepotane wong liya, kurang tanggap ing sasmita, adigang adigung adiguna. Marang wongtuwane ya ora gelem ngajeni, wong wadon wani karo bojone, guyub rukun ing masarakat sansaya udhar.

Kahanan kang kaya mangkono iku kaya-kaya wus dadi panganan saben dina. Budaya kulonan, ngrembakane ilmu piwulangan lan teknologi sarta ilining pawarta jroning mangsa globalisasi dhewasa iki diakoni apa ora pranyata ngaruh marang tata susila lan budi pekertine masarakat Jawa lan masarakat saumume.

“Apa kang diarani pangaruh kuwi bisa njalari prakara kang asipat becik utawa ala. Buktine, jaman saiki akeh generasi mudha kang ora dunung marang trapsila, unggah-ungguh, budi pekerti jroning budaya Jawa. Mula, diprelokake saringan piwulang luhur budaya Jawa minangka watak lan jatidhiri bangsa lan nagara,” piterange Pangarsa Jurusan Sastra Daerah FSSR UNS Solo, Imam Sutardjo, nalika medhar andharan ing adicara Bimbingan Teknis Guru Budi Pekerti SMP, SMA lan SMK sak-Kabupaten Karanganyar ing Tawangmangu, sawetara wektu kapungkur.

Disebutake Imam, manungsa kuwi minangka titah kang monopluralis, yakuwi titah tumrap pribadine, sosial lan titahipun Pangeran. Telung kagunan iku wajib dileksanakake kanthi bebarengan liwat piranti cipta, rasa lan karsa, supaya dadi manungsa utama, luhur budine, waskitha lan wicaksana. Bab iku trep karo tujuan pembangunan nasional bangsa Indonesia yakuwi mbebangun manungsa sawutuhe.

Jejibahan

“Budaya Jawa sajane dudu budaya kang paling apik tinimbang budaya-budaya ing Nuswantara liyane. Nanging budaya Jawa duweni jejibahan kang paling abot lan paling baku kanggo njurung integrasi nasional dina iki lan ing tembe mburi, jalaran Jawa wus kebacut dadi punjering Indonesia nurut kasunyatan sujarahe,” tandhese.

Budaya Jawa kawit mbiyen wus duweni budaya adiluhung lan bisa dibuktekake anane maneka tetilasan lan karya-karya agung mangsa karaton ing tanah Jawa. Kabeh kuwi kudu didadekake paitan dhasar lan utama supaya bisa ajeg dirembakake, supaya piwulang luhur budaya Jawa dadi salah sijining sokoguru agunging budaya nasional. Dene kuwajiban manungsa urip ing donya iki yakuwi kuwajiban mring Pangeran, pribadine dhewe, lan sosial (kulawarga, sepadhane, pamarentah/bangsa lan nagara). -

Oleh : Damar Sri Prakoso

Edisi : Kamis, 25 November 2010 , Hal.VIII
kasalin saka : semar.multiply.com

Rabu, 22 September 2010

BOTHEKAN

KEROT ORA DUWE UNTU

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti menggertakkan gigi (namun) tidak mempunyai gigi.

Hal yang sangat muskil terjadi jika seseorang mau menggertakkan gigi, tetapi ternyata ia tidak mempunyai gigi. Nafsu atau kehendak menggertakkan gigi dapat saja demikian kuat tetapi jika gigi sudah ompong hal itu tidak akan terjadi.

Pepatah ini sebenarnya ingin menyatakan tentang nafsu atau keinginan seseorang akan sesuatu, tetapi ia tidak memiliki biaya, daya, atau harta untuk mendapatkannya. Dengan demikian keinginannya tinggallah menjadi keinginan saja.

a. sartono
sumber: semar.blogspot.com